1. Analisis fenomena di media social (bullying)
terhadap seseorang. Contoh kasus baru itu terhadap Presiden Jokowi. Dalam
lingkup ilmu Psikologi, motif apa yang sebenarnya yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut.
Pantaskah hukuman yang diberi sesuai dengan perilakunya ?
Jawab:
BUKITINGGI -
Hasil pemeriksaan yang dilakukan Tim Pemeriksaan Psikologi, sejak 12 sampai 17
Oktober 2014 terhadap kasus bullying SD Trisula Perwari Bukittinggi, Sumatera
Barat, akhirnya terungkap. Kasus ini terjadi karena faktor lemahnya fungsi
pengawasan keluarga dan lingkungan.
Menurut
Ketua Tim Psikologi, Yosi Molina dalam perspektif psikologi, korban maupun
pelakunya sama-sama korban.
"Fungsi
keluarga yang lemah, mencakup pola asuh yang permisif, ditambah peran ayah yang
tidak kuat. Hal ini akan menyebabkan tidak tegaknya aturan dasar keluarga dan
tidak paham batasan," kata Yosi di Universitas Negeri Padang (UNP)
Bukittinggi, Jalan Batang Masang, Jumat (17/10/2014).
Dia
menambahkan, penyebab lainnya adalah belum efektifnya komunikasi dalam
keluarga, sehingga menyebab anak mencari bentuk lain yang negatif.
Kemudian,
orangtua kurang memperhatikan perubahan prilaku dan sikap anak setiap hari.
"Seperti anak tiba-tiba diam, tidak bisa ekspresikan perasaan. Kurang
mendapatkan bekali anak dengan pemahaman dasar yang dapat mencegah bullying dan
pelecehan," paparnya.
Sementara
masalah lingkungan, menurut Yosi Molina, anak-anak sudah terpengaruh oleh game
online dan tayangan televisi yang bersifat kekerasan.
"Ini
memberikan dampak negatif, anak-anak merasa takut, kawatir, ini tahu, ingin
mencoba dan meningkatkan perilaku agresif," ucapnya.
Keterangan
Tim Pemeriksaan Psikologis ini membuat beberapa wartawan kecewa karena tidak
mendetail dan memberikan kronologis yang jelas dengan alasan kode etik.
"Kita
tidak bisa memberikan detail baik itu klien maupun orang tua kedua belah
siswa," tegasnya.
Yosi
menerangkan, pihaknya telah membuat laporan setebal 16 halaman yang diserahkan
ke Pemkot Bukittingi secara resmi. "Tapi ini masih ada laporan detail
perklien," tutupnya.(fid)
Analisis Kasus :
Bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya
penyalahgunaan kekuatan/ kekuasaan yang dilakukan oleh seorang/ sekelompok. Pihak
yang kuat disini bukan berarti kuat dalam ukuran fisik, tapi bisa juga kuat
secara mental. Dalam hal ini sang korban bullying tidak mampu membela
atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental. Yang perlu dan
sangar penting kita perhati-hatikan adalah bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi
dampak tindakan tersebut bagi si korban.
Menurut saya
dalam kasus bullying yang terjadi pada anak-anak ini adalah kurangnya
pengawasan orangtua maupun guru-guru mereka di sekolah. Kurangnya pengawasan
orangtua, contohnya: orangtua tidak memperhatikan tayangan yang ditonton oleh
sang anak, sehingga sang anak menkionton film yang non- edukatif, seperti film
yang mencerminkan terjadinya penganiayaan terhadap orang lain sehingga sang anak
ingin mencoba, karena rasa ingin tahu pada anak-anak begitu besar.
Motif sang
anak dalam ilmu psikologi atas kasus ini
adalah mereka ingin mendapatkan kebahagiaan karena menurut mereka korban kasus bullying
adalah sebuah candaan yang bisa membuat mereka tertawa dan puas. Apalagi ditambahkan
tindakan mereka mem-bully temannya diunggah ke salah satu media sosial
yaitu Youtube. Mereka merasa senang apabila unggahan mereka banyak yang
melihat dan mereka merasa senang karena telah membuat banyak orang tertawa, itu
menurut pemikiran mereka.
Menurut saya
ciri-ciri anak yang seperti ini dilihat dari ilmu psikologi termasuk ke dalam
kategori anak-anak psikopat, karena mereka merasa senang telah menyiksa orang
lain ditambah dengan menggunggahnya di Youtube. Anak-anak yang menjadi pelaku
kasus bullying ini terkena gangguan psikopatologi. Karena dalam video
yang diunggah di Youtube juga terlihat bahwa salah seorang anak
tersenyum dan bergembira atas kejadian ini. Mereka senang telah menyiksa
temannya. Menurut mereka ini lucu, dan dapat membuat mereka semua senang atas
semua perlakuan mereka walaupun mereka sedang menyiksa temannya.
Psikopatologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari proses dan perkembangan gangguan mental.
Perkembangan penanganan gaangguan mental berkembang mulai dari zaman kuno
(Yuhani) hingga zaman sekarang (modern). Terdapat perbedaan penanganan gangguan
abnormalitas jiwa, karena perbedaan paradigma berpikir manusia dari zaman
kezaman.
Psikopatologi
anak Mempelajari gangguan psikologis atau tingkahlaku patologis pada anak dan
remaja. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa psikopatologi adalah
gangguan kepribadian. Menurut Shafii psikopatologi istilah yang mengacu pada
baik studi tentang penyakit mental atau tekanan mental atau manifestasi
perilaku dan pengalaman yang mungkin menunjukkan penyakit mental atau gangguan
psikologis. Chaplin juga menyatakan psikopatologi (psychopathology) adalah
cabang psikologi yang berkepentingan untuk menyelidiki penyakit atau gangguan
mental dan gejala-gejala abnormal lainnya. Psikopatologi atau sakit mental
adalah sakit yang tampak dalam bentuk perilaku dan fungsi kejiwaan yang tidak
stabil. Istilah psikopatologi mengacu pada sebuah sindroma yang luas, yang
meliputi ketidaknormalan kondisi indra, kognitif, dan emosi.
Sedangkan Alexander
Theron mendefinisikan psikopatologi dengan penyakit jiwa atau gangguan jiwa
(mental disorder) dimana gangguan jiwa terdiri dari ketidakmampuan berfungsinya
seseorang sebegitu jauh sehingga ia tak dapat mencapai pemuasan yang cukup
memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan jasmaniyah dan perasaannya bagi dirinya
sendiri dan sebegitu jauh ia tak mampu memenuhi persyaratan-persyaratan tingkah
laku yang dituntut oleh masyarakat dimana ia hidup.
Jadi
pengertian ini menunjukkan bahwa manusia sebagai individu dan sebagai anggota
masyarakatnya tidak mampu berfungsi baik dalam pemenuhan kebutuhan rohaniyah
untuk kehidupan pribadinya sendiri dan juga untuk kebutuhan lingkungannya.
Ketidakmampuan inilah yang menjadi sumber pokok dari apa yang disebut gangguan
jiwanya.
Anak-anak
terkadang mengalami kesukaran emosional, karena perubahan tuntutan hidup dan
perubahan sikap orang tuanya, di samping pertumbuhan diri pribadi mereka, yang
terkadang tidak dimengerti oleh orang tuanya. Terapi yang diberikan kepada anak
yang mengalami gangguan emosi diantaranya adalah dengan menggunakan pendekatan
non-directive therapy dan menggunakan permainan.
Psikopatologi Anak
1)
Gangguan Tingkah Laku
Pengertian ADHD
(attention deficit hyperactivity disorder) Hyperactive adalah gangguan
perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik anak-anak hingga menyebabkan
aktifitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Ditandai dengan
berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan
tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau
sedang berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah, suka
meletup-letup, aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan.
2)
Ciri-ciri:
a. Anak sangat sulit memusatkan perhatian dalam waktu yang sama
(konsentrasi hanyasesaat dan sering berganti-ganti aktivitas)
b. Tubuh selalu bergerak (sering terlihat di kelas atau saat makan)
c. Impulsif (anak tidak sabar menunggu atau bertindak sebelum berpikir)
d. Kadang-kadang tidak bisa disiplin
e. Prestasi di sekolah rendah cenderung mengalami kecelakaan (jatuh,
terbentur dan sebagainya) pola-pola tersebut terjadi pada hampir semua situasi,
yakni di rumah, sekolah dan waktubermain. Jadi aktivitas fisik anak yang sangat
berlebihan memang belum tentu abnormal.
3)
Diagnosa banding ada beberapa gangguan yang
menunjukkan ciri-ciri serupa, yakni :
a. Gangguan fisik khas epilepsi (ayan), sindroma fetal alkohol (bayi
dilahirkan dari ibu yangalkoholik), dan penyakit kelenjar tiroid.
b. Gangguan emosional yang menyeluruh, dengan menunjukkan kecemasan
(anxiety) dan depresi autisme, yakni kegagalan berbahasa atau bersosialisasi.
c. Gangguan tingkah laku (anak menunjukkan sikap menentang, meski tidak
sulitmemusatkan perhatian)
d. Retardasi mental ringan dan kesulitan belajar dan tingkah laku yang disebabkan
adanya problema orangtua - anak.
4)
Berikut ciri-ciri psikopatologi pada anak:
a. Sering berbohong. Jika ketahuan, ia tak peduli dan akan menutupinya
dengan mengarang kebohongan lainnya, bahkan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
b. Pandai melucu dan pintar bicara. Mereka menguasai pengetahuan di bidang
seni, puisi, dan sastra. Pandai mengarang cerita yang membuatnya terkesan
positif
c. Impulsif dan sulit mengendalikan diri; emosi tinggi, tantrum, dan
agresif. Mudah terpicu amarahnya oleh hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap
kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal
sepele.
d. Tidak memiliki respons fisiologis yang normal; seperti rasa takut yang
ditandai tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar
bila melakukan kesalahan.
e. Saat sedih dan gembira, ekspresinya tidak terlalu kelihatan.
f. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah, sering menyangkal akibat
tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
g. Senang melakukan pelanggaran dan peraturan keluarga atau sekolah.
h. Kurang empati terhadap perasaan keluarga dan teman sepermainan.
i. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
j. Agresif, menantang nyali dan perkelahian, tidur larut malam, dan sering
ke luar rumah.
k. Tidak mau bertanggungjawab, dan melakukan berbagai hal demi kesenangan
belaka.
l. Persuasif dan memesona di permukaan.
m. Butuh stimulasi dan gampang bosan.
n. Memiliki IQ tinggi.
5)
Gejala psikopatologi anak:
a. Sering berbohong, fasih, dan dangkal
b. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
c. Senang melakukan pelanggaran ketika waktu kecil
d. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan
belaka.
6)
Pengobatan psikopatologi terhadap anak:
Anak-anak yang masih dibawah umur tidak pantas dimasukkan ke dalam
penjara ataupun dikenakan sanksi serupa, karena anak dibawah umur masih perlu
bimbingan dari orang dewasa di sekitarnya. Orang dewasa harus bisa selalu
memperhatikan semua aktivitas yang dilakukan oleh sang anak sehingga sang anak
mengerti moral yang lebih baik.
Dalam sekolah guru-guru harus bisa memperhatikan semua muridnya. Harus ada
pelajaran yang bisa menanamkan moral yang baik terhadap anak sehingga anak bisa
mengerti semua perilaku yang baik.
Menurut saya hukuman yang diberikan oleh pihak berwajib terhadap pelaku
anak-anak ini sesuai dengan usianya. Mereka hanya perlu bimbingan agar memiliki
perilaku yang lebih baik. Seharusnya yang dihukum bukanlah sang anak akan
tetapi orang dewasa di sekitarnya, karena mereka tidak bisa membimbing
anak-anak mereka.
2. Coba jelaskan tentang fenomena addiction
yang terjadi sebagai dampak interaksi manusia dengan internet. Poin-poin:
a. Faktor etiologi
b. Jenis-jenis adiksinya
Jawab:
Penegertian Internet Adiksi
Internet addiction oleh Young (dalam Tuapattimaja & Rahayu)
diungkapkan sebagai sebuah syndrome yang ditandai dengan menghabiskan banyak
waktu dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat
online, orang-orang yang menunjukkan syndrome ini akan merasa cemas,
depresi,atau hampa saat tidak online di internet serta menyebabkan korbannya
mulai menyembunyikan tingkat ketergantungannya terhadap internet tersebut.
Penggunaan internet yang berlebihan mencapai presentase 52% sangat
jauh berbeda dengan yang kecanduan internet yang hanya mencapai 8% saja.
Walaupun masalah kecanduan internet hanya mencapai presentase yang sedikit,
tetapi melihat presentase penggunaan internet yang berlebihan mencapai 52%
perlu diperhatikan lagi permasalahan ini, karena kecanduan internet bermula
dari keasyikan kita berlama-lama menggunakan internet, lambat laun kita akan
merasa cemas dengan tidak bermain internet, dan lama-kelamaan akan menjadi
pecandu internet yang sulit lepas dari internet dan berdampak kurang baik dalam
aspek psikologis (neuroticism, extraversion, kecemasan sosial, kesepian
emosional, kesepian sosial, dukungan sosial, dan dukungan sosial internet).
CONTOH KASUS:
Baru bangun tidur, setelah semalaman beristirahat, langsung pegang
gadget. Bisa BBM, tablet, atau laptop. Lho, ada perlu apa? Untuk kembali online
dan melihat kabar dari teman-teman di jejaring sosial. Ada yang semalam suntuk
tidak bisa tidur, ada yang mengomentari pertandingan bola, ada yang sharing
macam-macam. Tips, curhat soal teman atau kekasih, berita-berita politik,
membaca tautan dari laman gosip, dan lainnya
Jeda kegiatan hanya sebentar. Diselingi mandi, bersiap-siap, dan
sarapan. Berangkat kerja? Menuju kantor, kembali online, fokus pada gadget di
perjalanan. Masuk kantor, kerjaan diselingi kegiatan memperbarui dan
mengomentari berbagai status teman. Jam istirahat, apalagi. Habis makan siang,
merasa mengantuk dan bosan, akhirnya online lagi.
Pulang kerja, menemani perjalanan di jalan, saling sapa kabar dan
rencana akhir pekan. Oke, lalu lintas yang macet cukup jadi inspirasi untuk
melampiaskan kekesalan. Sampai rumah, makan malam dan bersih-bersih. Jika
sempat nonton, TV diamati. Jelang malam, online sebentar untuk lihat apa yang
terbaru. Buat status selamat malam, dikomentari, terlibat obrolan,
ngalor-ngidul, sampai tengah malam. Mata terpejam, tidur, dan bangun pagi untuk
melihat adakah lanjutan dari obrolan semalam di jejaring sosial.
Tanpa disadari, berselancar dan menikmati dunia maya, terutama pada
jejaring sosial, telah membuat banyak orang “ketergantungan” dengannya. Tidak
berlebihan bila dikatakan kecanduan, mengingat mereka bisa seharian memandangi
layar internet.
Kaidah umumnya, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Begitu pula fenomena ini. Seorang ahli di Malaysia mengatakan, orang yang kerap
membuka jejaring sosial, baik itu di kantor, rumah, di jalan, dan tempat
lainnya, akan menjauhkannya dari interaksi langsung dengan orang lain. Makin
cepat dan mudah diakses, makin sering dan lama, efeknya kian terasa. Psikolog
dan penasihat, Adnan Omar memberi contoh dampaknya pada pasangan.
“Contohnya, banyak pasangan yang kehilangan kesempatan bertemu
langsung atau pergi makan malam. Mereka cukup puas dengan berinteraksi di
internet, sekadar mengencek surel dari perangkat telekomunikasi mereka.”
Hal ini patut dikhawatirkan mengingat kemampuan interaksi kita
dengan manusia lain akan perlahan menghilang.
“Jika Anda,” lanjut Adnan, “menghabiskan waktu sekitar 25 jam
selama sepekan untuk jejaring sosial dibandingkan beraktivitas ataupun alasan
akademis lainnya, itu artinya Anda telah kecanduan. Anda telah dimudahkan
kondisi internet yang gampang tersedia, dan Anda tak perlu mematikannya.”
Sebagai seorang psikolog, Adnan mengungkapkan bahwa banyak pecandu
jejaring sosial merasa kecewa ketika status atau posting-nya tidak direspon.
Mereka, menurut Adnan, sebenarnya memposting berbagai macam hal untuk menunggu
respons balik, sebuah perilaku untuk memuaskan kondisi batin. Memang ada faktor
lain, yaitu menghabiskan waktu. Akan tetapi, kian mudahnya teknologi, harusnya
juga diiringi dengan kebijaksanaan. Menghabiskan waktu di jejaring sosial jelas
tidak baik dan dapat mengurangi produktivitas kerja kita.
Perkembangan teknologi saat ini menjadikan
internet menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia. Bukan hal yang
mustahil bila ada orang yang merasa kecanduan dan susah untuk meninggalkan
kebiasaan menggunaan internet. Salah satu gejala kecanduan internet adalah
sering lupa waktu saat mengakses internet. Bahkan beberapa orang meninggal usai
bermain video game online selama beberapa hari tanpa berhenti, akibat penggumpalan
darah yang terjadi akibat tidak berpindah-pindah.Kecanduan internet pada
anak-anak merupakan simtom psikologis dan berkaitan dengan gangguan fisiologis
yang muncul dalam bentuk ketergantungan yang berlebihan terhadap World Wide
Web.
Kecanduan internet mempunyai gejala serupa
dengan kecanduan obat-obatan. Hal itu secara khusus telah diteliti di
negara-negara di Asia seperti China dan Korea Selatan. Dengan internet sebagai
teman terdekat setiap saat, hal itu kecanduan internet adalah hal yang bukan
mustahil. Beberapa ahli kejiwaan
menyebut keadaan itu sebagai Internet Addiction Disorder or Problematic
Internet Use(Gangguan kecanduan internet atau penggunaan internet yang
problematik). Sebagai contoh, kebanyakan penelitian menemukan kecanduan
internet lebih umum terjadi pada laki-laki, tetapi beberapa menemukan jumlah
perempuan lebih besar atau tak ada perbedaan gender. Penelitian lanjutan
dibutuhkan untuk hal ini
A.
Faktor Etiologi
Kecanduan didefinisikan sebagai dorongan
kebiasaan untuk terlibat dalam aktivitas tertentu atau menggunakan zat, bukan
dengan berdiri konsekuensi buruk pada individu fisik, sosial, spiritual,
mental, dan kesejahteraan finansial. Alih-alih mengatasi hambatan hidup,
mengatasi stres sehari-hari dan menghadapi trauma masa lalu atau sekarang,
pecandu merespon maladaptif dengan beralih ke mekanisme koping semu. Biasanya,
kecanduan memanifestasikan karakteristik psikologis dan fisik. Sebagai
kecanduan perilaku, fokus pada isu-isu psikologis yang meningkatkan konsumsi
internet adalah membantu untuk membantu dalam pemahaman klinis mengapa orang
berlebihan.
1)
Cognitive-behavioral Model: Kecanduan
teknologi sebagai bagian dari kecanduan perilaku: kecanduan internet
menampilkan komponen inti dari kecanduan (kedudukan kentara, mood modifikasi, toleransi,
penarikan, konflik dan kambuh). Dari perspektif ini, pecandu internet
ditampilkan arti-penting kegiatan, sering mengalami keinginan dan perasaan
disibukkan dengan internet saat offline. Ia juga menunjukkan bahwa menggunakan
internet sebagai cara untuk menghindari perasaan mengganggu, mengembangkan
toleransi internet untuk mencapai kepuasan, mengalami penarikan, kapan
mengurangi penggunaan intenet, penderitaan saat meningkatnya konflik dengan
orang lain karena aktivitas, dan kambuh kembali ke internet juga tanda-tanda
kecanduan. Model ini telah diterapkan pada perilaku seks tersebut, berjalan,
konsumsi makanan, dan perjudian.
2)
Neuropsychological Model: Seorang individu
akan diklasifikasikan sebagai pecandu internet asalkan ia memenuhi siapa pun
dari tiga kondisi berikut:
a. salah satu akan merasa bahwa lebih mudah untuk mencapai aktualisasi diri
secara online daripada di kehidupan nyata,
b. salah satu akan pengalaman dysphoria dan depresi setiap kali akses ke
internet rusak atau kusut berfungsi,
c. orang akan mencoba untuk menyembunyikan waktu penggunaan yang benar nya
dari anggota keluarga.
3)
Situational Factors: Faktor situasional
berperan dalam pengembangan kecanduan internet. individu yang merasa kewalahan
atau yang mengalami masalah pribadi atau yang experince mengubah hidup acara
seperti divorve arecent, relokasi, atau kematian dapat menyerap diri dalam
dunia maya yang penuh fantasi dan intrik.
B.
Jenis-jenis Adiksi
Menurut Griffiths (2005) telah mencantumkan
enam dimensi untuk menentukan apakah individu sudah digolongkan sebagai pecandu
internet. Dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Salience hal ini terjadi ketika penggunaan internet menjadi
aktivitas yang paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran
individu (pre-okupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh),
dan tingkahlaku(kemunduran dalam perilaku sosial).
2) Mood modification merupakan Keterlibatan yang tinggi saat menggunakan
internet. Dimana terdapat perasaan senang dan tenang (seperti menghilangkan
stress) saat perilaku kecanduan itu muncul.
3) Tolerance merupakan proses dimana terjadinya peningkatan jumlah
penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood. Demi mencapai
kepuasan, jumlah penggunaan internet meningkat secara mencolok. Kepuasaan yang
diperoleh dalam menggunakan internet secara terus menerus dalam jumlah waktu
yang sama akan menurun secara mencolok, dan untuk memperoleh pengaruh yang sama
kuatnya seperti sebelumnya, maka individu secara berangsur-angsur harus
meningkatkan jumlah pemakaian agar tidak terjadi toleransi, contohnya pemain
tidak akan mendapatkan perasaan kegembiraan yang sama seperti jumlah waktu
pertama bermain sebelummencapai waktu yang lama.
Withdrawal symptoms Merupakan perasaan
tidak menyenangkan yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau tidak
dilanjutkan dan hal iniberpengaruh pada fisik seseorang, perasaan dan efek
antara perasaan dan fisik (seperti, pusing, insomnia) atau psikologisnya
(misalnya, mudah marah atau mood.
Referensi:
Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa). Bullying Mengatasi Kerasan di Sekolah
dan Lingkungan. (2008). Jakarta: PT. Grasindo
http://rusdiniprianto.blogspot.com/2013/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html