Final Fantasy 7 Cloud Strife

Jumat, 24 April 2015

Hubungan Interpersonal

Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik, kegagalan komunikasi sekunder terjadi bila isi pesan kita dipahami, tetapi hubungan di antara komunikasi menjadi rusak. “ komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling penting,” tulis Anita Taylor et al.(1977:187). “Banyak penyebab dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada hubungan baik di antara komunikan. Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling tegas, paling cermat tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan yang jelek.”Pandangan bahwa komunikasi mendefinisikan hubungan interpersonal telah dikemukakan Ruesch dan Bateson (1951) pada tahun 1950-an. Gagasan ini dipopulerkan di kalangan komunikasi oleh Watzlawick, Beavin, dan Jackson(1967) dengan buku mereka Pragmatics of Human Communication. psikolog pun mulai menaruh minat yang besar pada hubungan interpersonal seperti tampak pada tulisan Fordon W.Allport (1960), Erich Fromm (1962), Martin Buber (1957), Carl Rogers (1951). Semua mewakili mazhab psikologi humanistic. Belakangan Arnold P.Goldstein (1975) mengembangkan apa yang disebut sebagai “relationship-enchancement methods” (metode peningkatan hubungan) dalam psikoterapi. Lame rumuskan metode ini tiga prinsip : makin baik hubungan interpersonal, (1) makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya, (2) makin cenderung ia meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog), dan (3) makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan penolongnya.
          
A.           Model-Model Hubungan Interpersonal
Ada 4 model hubungan interpersonal yaitu meliputi :
1.    Model pertukaran sosial (social exchange model)
Hubungan interpersonal diidentikan dengan suatu transaksi dagang. Orang berinteraksi karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Artinya dalam hubungan tersebut akan menghasilkan ganjaran (akibat positif) atau biaya (akibat negatif) serta hasil / laba (ganjaran dikurangi biaya).

2.    Model peranan (role model)
Hubungan interpersonal diartikan sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang memainkan peranannya sesuai naskah yang dibuat masyarakat. Hubungan akan dianggap baik bila individu bertindak sesuai ekspetasi peranan (role expectation), tuntutan peranan (role demands), memiliki ketrampilan (role skills) dan terhindar dari konflik peranan. Ekspetasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas dan yang berkaitan dengan posisi tertentu, sedang tuntutan peranan adalah desakan sosial akan peran yang harus dijalankan. Sementara itu ketrampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu.

3.    Model permainan (games people play model)
Model menggunakan pendekatan analisis transaksional. Model ini menerangkan bahwa dalam berhubungan individu-individu terlibat dalam bermacam permaianan. Kepribadian dasar dalam permainan ini dibagi dalam 3 bagian yaitu :
a.    Kepribadian orang tua (aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang diterima dari orang tua atau yang dianggap sebagi orang tua).
b.    Kepribadian orang dewasa (bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional)
c.    Kepribadian anak (kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak yang mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas dan kesenangan). Pada interaksi individu menggunakan salah satu kepribadian tersebut sedang yang lain membalasnya dengan menampilkan salah satu dari kepribadian tersebut. Sebagai contoh seorang suami yang sakit dan ingin minta perhatian pada istri (kepribadian anak), kemudian istri menyadari rasa sakit suami dan merawatnya (kepribadian orang tua).

4.    Model Interaksional (interacsional model)
Model ini memandang hubungann interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem memiliki sifat struktural, integratif dan medan. Secara singkat model ini menggabungkan model pertukaran, peranan dan permainan.

B.            Memulai Hubungan
Adapun tahap-tahap dalam hubungan interpersonal yakni meliputi :
1.    Pembentukan.
Tahap ini sering disebut juga dengan tahap perkenalan. Beberapa peneliti telah menemukan hal-hal menarik dari proses perkenalan. Fase pertama, “fase kontak yang permulaan”, ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk menangkap informasi dari reaksi kawannya. Masing-masing pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap dan nilai pihak yang lain. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri. Pada tahap ini informasi yang dicari meliputi data demografis, usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga dan sebagainya.
Menurut Charles R. Berger informasi pada tahap perkenalan dapat dikelompokkan pada tujuh kategori, yaitu:
a.    Informasi demografis
b.    Sikap dan pendapat (tentang orang atau objek).
c.    Rencana yang akan datang.
d.   Kepribadian.
e.    Perilaku pada masa lalu.
f.     Orang lain serta,
g.    Hobi dan minat.

2.    Peneguhan Hubungan.
Hubungan interpersonal tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal, diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor penting dalam memelihara keseimbangan ini, yaitu:
a.    Keakraban (pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang antara komunikan dan komunikator).
b.    Kontrol (kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan komunikasi dan menentukan siapakah yang lebih dominan didalam komunikasi tersebut).
c.    Respon yang tepat (feedback atau umpan balik yang akan terima jangan sampai komunikator salah memberikan informasi sehingga komunikan tidak mampu memberikan feedback yang tepat).
d.   Nada emosional yang tepat (keserasian suasana emosi saat komunikasi sedang berlangsung).

C.           Hubungan Peran
1.    Model Peran
Terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.

2.    Konflik
Konflik adalah adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang (masalah intern) maupun dengan orang lain (masalah ekstern) yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupad perselisihan (disagreement), adanya keteganyan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai pengahalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Substantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan kelompok,pengalokasian sumber dalam suatu organisasi, distrubusi kebijaksanaan serta prosedur serta pembagaian jabatan pekerjaan. Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertantangan antar pribadi (personality clashes).
Dalam sebuah organisasi, pekerjaan individual maupun sekelompok pekerja saling berkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan dengan komunikasi yang tidak efektif yang menjadi kambing hitam.

3.    Adequancy peran & autentisitas dalam  hubungan peran
Kecukupan perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.

D.           Intimasi dan Hubungan Pribadi
Pendapat beberapa ahli mengenai intimasi, di antara lain yaitu :
a.    Shadily dan Echols (1990) mengartikan intimasi sebagai kelekatan yang kuat yang didasarkan oleh saling percaya dan kekeluargaan.
b.    Sullivan (Prager, 1995) mendefinisikan intimasi sebagai bentuk tingkah laku penyesuaian seseorang untuk mengekspresikan akan kebutuhannya terhadap orang lain.
c.    Steinberg (1993) berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional antara dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan untuk memperlihatkan pribadi masing-masing yang terkadang lebih bersifat sensitif serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
d.   Levinger & Snoek (Brernstein dkk, 1988) merupakan suatu bentuk hubungan yang berkembang dari suatu hubungan yang bersifat timbal balik antara dua individu. Keduanya saling berbagi pengalaman dan informasi, bukan saja pada hal-hal yang berkaitan dengan fakta-fakta umum yang terjadi di sekeliling mereka, tetapi lebih bersifat pribadi seperti berbagi pengalaman hidup, keyakinan-keyakinan, pilihan-pilihan, tujuan dan filosofi dalam hidup. Pada tahap ini akan terbentuk perasaan atau keinginan untuk menyayangi, memperdulikan, dan merasa bertangung jawab terhadap hal-hal tertentu yang terjadi pada orang yang dekat dengannya.
e.    Atwater (1983) mengemukakan bahwa intimasi mengarah pada suatu hubungan yang bersifat informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang diakibatkan oleh persatuan yang lama. Intimasi mengarah pada keterbukaan pribadi dengan orang lain, saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang terdalam. Intimasi semacam ini membutuhkan komunikasi yang penuh makna untuk mengetahui dengan pasti apa yang dibagi bersama dan memperkuat ikatan yang telah terjalin. Hal tersebut dapat terwujud melalui saling berbagi dan membuka diri, saling menerima dan menghormati, serta kemampuan untuk merespon kebutuhan orang lain (Harvey dan Omarzu dalam Papalia dkk, 2001).

Dalam suatu hubungan juga perlu adanya companionate love, passionate love dan intimacy love. Karena apabila kurang salah satu saja di dalam suatu hubungan atau mungkin hanya salah satu di antara ketiganya itu di dalam suatu hubungan maka yang akan terjadi adalah hubungan tersebut tidak akan berjalan dengan langgeng atau awet, justru sebaliknya setiap pasangan tidak merasakan kenyamanan dari pasangannya tersebut sehingga yang terjadi adalah hubungan tersebut bubar dan tidak akan ada lagi harapan untuk membangun hubungan yang harmonis dan langgeng.
Komunikasi yang selalu terjaga, kepercayaan, kejujuran dan saling terbuka pun menjadi modal yang cukup untuk membina hubungan yang harmonis. Maka jangan kaget apabila komunikasi kita dengan pasangan tidak berjalan dengan mulus atau selalu terjaga bisa jadi hubungan kita akan terancam bubar atau hancur. Tentu saja itu akan menyakitkan hati kita dan setiap pasangan di dunia ini pun tidak pernah menginginkan hal berikut.

E.            Intimasi dan Pertumbuhan
Apapun alasan untuk berpacaran, untuk bertumbuh dalam keintiman, yang terutama adalah cinta. Keintiman tidak akan bertumbuh jika tidak ada cinta . Keintiman berarti proses menyatakan siapa kita sesungguhnya kepada orang lain. Keintiman adalah kebebasan menjadi diri sendiri. Keintiman berarti proses membuka topeng kita kepada pasangan kita. Bagaikan menguliti lapisan demi lapisan bawang, kita pun menunjukkan lapisan demi lapisan kehidupan kita secara utuh kepada pasangan kita.
Keinginan setiap pasangan adalah menjadi intim. Kita ingin diterima, dihargai, dihormati, dianggap berharga oleh pasangan kita. Kita menginginkan hubungan kita menjadi tempat ternyaman bagi kita ketika kita berbeban. Tempat dimana belas kasihan dan dukungan ada didalamnya. Namun, respon alami kita adalah penolakan untuk bisa terbuka terhadap pasangan kita. Hal ini dapat disebabkan karena :
a.    Kita tidak mengenal dan tidak menerima siapa diri kita secara utuh.
b.    Kita tidak menyadari bahwa hubungan pacaran adalah persiapan memasuki pernikahan.
c.    Kita tidak percaya pasangan kita sebagai orang yang dapat dipercaya untuk memegang rahasia.
d.   Kita dibentuk menjadi orang yang berkepribadian tertutup.
e.    Kita memulai pacaran bukan dengan cinta yang tulus .

Referensi:
Wirawan, Sarlito S. 2002. Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka
Dayakisni, Tri. 2006. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Malang : Universitas Muhamadiyah Malang
Aronson ,Elliot .(2005).Social Psychology .Upper Saddle River: Person Prentice Hall
Hall, S Calvin., Lindzey , Gardner., (2009). Teori - Teori Psikodinamika, Yogyakarta: Kanisius

Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung.

Hubungan Interpersonal



Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik, kegagalan komunikasi sekunder terjadi bila isi pesan kita dipahami, tetapi hubungan di antara komunikasi menjadi rusak. “ komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling penting,” tulis Anita Taylor et al.(1977:187). “Banyak penyebab dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada hubungan baik di antara komunikan. Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling tegas, paling cermat tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan yang jelek.”Pandangan bahwa komunikasi mendefinisikan hubungan interpersonal telah dikemukakan Ruesch dan Bateson (1951) pada tahun 1950-an. Gagasan ini dipopulerkan di kalangan komunikasi oleh Watzlawick, Beavin, dan Jackson(1967) dengan buku mereka Pragmatics of Human Communication. psikolog pun mulai menaruh minat yang besar pada hubungan interpersonal seperti tampak pada tulisan Fordon W.Allport (1960), Erich Fromm (1962), Martin Buber (1957), Carl Rogers (1951). Semua mewakili mazhab psikologi humanistic. Belakangan Arnold P.Goldstein (1975) mengembangkan apa yang disebut sebagai “relationship-enchancement methods” (metode peningkatan hubungan) dalam psikoterapi. Lame rumuskan metode ini tiga prinsip : makin baik hubungan interpersonal, (1) makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya, (2) makin cenderung ia meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog), dan (3) makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan penolongnya.
          
A.           Model-Model Hubungan Interpersonal
Ada 4 model hubungan interpersonal yaitu meliputi :
1.    Model pertukaran sosial (social exchange model)
Hubungan interpersonal diidentikan dengan suatu transaksi dagang. Orang berinteraksi karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Artinya dalam hubungan tersebut akan menghasilkan ganjaran (akibat positif) atau biaya (akibat negatif) serta hasil / laba (ganjaran dikurangi biaya).

2.    Model peranan (role model)
Hubungan interpersonal diartikan sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang memainkan peranannya sesuai naskah yang dibuat masyarakat. Hubungan akan dianggap baik bila individu bertindak sesuai ekspetasi peranan (role expectation), tuntutan peranan (role demands), memiliki ketrampilan (role skills) dan terhindar dari konflik peranan. Ekspetasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas dan yang berkaitan dengan posisi tertentu, sedang tuntutan peranan adalah desakan sosial akan peran yang harus dijalankan. Sementara itu ketrampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu.

3.    Model permainan (games people play model)
Model menggunakan pendekatan analisis transaksional. Model ini menerangkan bahwa dalam berhubungan individu-individu terlibat dalam bermacam permaianan. Kepribadian dasar dalam permainan ini dibagi dalam 3 bagian yaitu :
a.    Kepribadian orang tua (aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang diterima dari orang tua atau yang dianggap sebagi orang tua).
b.    Kepribadian orang dewasa (bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional)
c.    Kepribadian anak (kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak yang mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas dan kesenangan). Pada interaksi individu menggunakan salah satu kepribadian tersebut sedang yang lain membalasnya dengan menampilkan salah satu dari kepribadian tersebut. Sebagai contoh seorang suami yang sakit dan ingin minta perhatian pada istri (kepribadian anak), kemudian istri menyadari rasa sakit suami dan merawatnya (kepribadian orang tua).

4.    Model Interaksional (interacsional model)
Model ini memandang hubungann interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem memiliki sifat struktural, integratif dan medan. Secara singkat model ini menggabungkan model pertukaran, peranan dan permainan.

B.            Memulai Hubungan
Adapun tahap-tahap dalam hubungan interpersonal yakni meliputi :
1.    Pembentukan.
Tahap ini sering disebut juga dengan tahap perkenalan. Beberapa peneliti telah menemukan hal-hal menarik dari proses perkenalan. Fase pertama, “fase kontak yang permulaan”, ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk menangkap informasi dari reaksi kawannya. Masing-masing pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap dan nilai pihak yang lain. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri. Pada tahap ini informasi yang dicari meliputi data demografis, usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga dan sebagainya.
Menurut Charles R. Berger informasi pada tahap perkenalan dapat dikelompokkan pada tujuh kategori, yaitu:
a.    Informasi demografis
b.    Sikap dan pendapat (tentang orang atau objek).
c.    Rencana yang akan datang.
d.   Kepribadian.
e.    Perilaku pada masa lalu.
f.     Orang lain serta,
g.    Hobi dan minat.

2.    Peneguhan Hubungan.
Hubungan interpersonal tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal, diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor penting dalam memelihara keseimbangan ini, yaitu:
a.    Keakraban (pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang antara komunikan dan komunikator).
b.    Kontrol (kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan komunikasi dan menentukan siapakah yang lebih dominan didalam komunikasi tersebut).
c.    Respon yang tepat (feedback atau umpan balik yang akan terima jangan sampai komunikator salah memberikan informasi sehingga komunikan tidak mampu memberikan feedback yang tepat).
d.   Nada emosional yang tepat (keserasian suasana emosi saat komunikasi sedang berlangsung).

C.           Hubungan Peran
1.    Model Peran
Terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.

2.    Konflik
Konflik adalah adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang (masalah intern) maupun dengan orang lain (masalah ekstern) yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupad perselisihan (disagreement), adanya keteganyan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai pengahalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Substantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan kelompok,pengalokasian sumber dalam suatu organisasi, distrubusi kebijaksanaan serta prosedur serta pembagaian jabatan pekerjaan. Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertantangan antar pribadi (personality clashes).
Dalam sebuah organisasi, pekerjaan individual maupun sekelompok pekerja saling berkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan dengan komunikasi yang tidak efektif yang menjadi kambing hitam.

3.    Adequancy peran dan autentisitas dalam  hubungan peran
Kecukupan perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.

D.           Intimasi dan Hubungan Pribadi
Pendapat beberapa ahli mengenai intimasi, di antara lain yaitu :
a.    Shadily dan Echols (1990) mengartikan intimasi sebagai kelekatan yang kuat yang didasarkan oleh saling percaya dan kekeluargaan.
b.    Sullivan (Prager, 1995) mendefinisikan intimasi sebagai bentuk tingkah laku penyesuaian seseorang untuk mengekspresikan akan kebutuhannya terhadap orang lain.
c.    Steinberg (1993) berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional antara dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan untuk memperlihatkan pribadi masing-masing yang terkadang lebih bersifat sensitif serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
d.   Levinger & Snoek (Brernstein dkk, 1988) merupakan suatu bentuk hubungan yang berkembang dari suatu hubungan yang bersifat timbal balik antara dua individu. Keduanya saling berbagi pengalaman dan informasi, bukan saja pada hal-hal yang berkaitan dengan fakta-fakta umum yang terjadi di sekeliling mereka, tetapi lebih bersifat pribadi seperti berbagi pengalaman hidup, keyakinan-keyakinan, pilihan-pilihan, tujuan dan filosofi dalam hidup. Pada tahap ini akan terbentuk perasaan atau keinginan untuk menyayangi, memperdulikan, dan merasa bertangung jawab terhadap hal-hal tertentu yang terjadi pada orang yang dekat dengannya.
e.    Atwater (1983) mengemukakan bahwa intimasi mengarah pada suatu hubungan yang bersifat informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang diakibatkan oleh persatuan yang lama. Intimasi mengarah pada keterbukaan pribadi dengan orang lain, saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang terdalam. Intimasi semacam ini membutuhkan komunikasi yang penuh makna untuk mengetahui dengan pasti apa yang dibagi bersama dan memperkuat ikatan yang telah terjalin. Hal tersebut dapat terwujud melalui saling berbagi dan membuka diri, saling menerima dan menghormati, serta kemampuan untuk merespon kebutuhan orang lain (Harvey dan Omarzu dalam Papalia dkk, 2001).

Dalam suatu hubungan juga perlu adanya companionate love, passionate love dan intimacy love. Karena apabila kurang salah satu saja di dalam suatu hubungan atau mungkin hanya salah satu di antara ketiganya itu di dalam suatu hubungan maka yang akan terjadi adalah hubungan tersebut tidak akan berjalan dengan langgeng atau awet, justru sebaliknya setiap pasangan tidak merasakan kenyamanan dari pasangannya tersebut sehingga yang terjadi adalah hubungan tersebut bubar dan tidak akan ada lagi harapan untuk membangun hubungan yang harmonis dan langgeng.
Komunikasi yang selalu terjaga, kepercayaan, kejujuran dan saling terbuka pun menjadi modal yang cukup untuk membina hubungan yang harmonis. Maka jangan kaget apabila komunikasi kita dengan pasangan tidak berjalan dengan mulus atau selalu terjaga bisa jadi hubungan kita akan terancam bubar atau hancur. Tentu saja itu akan menyakitkan hati kita dan setiap pasangan di dunia ini pun tidak pernah menginginkan hal berikut.

E.            Intimasi dan Pertumbuhan
Apapun alasan untuk berpacaran, untuk bertumbuh dalam keintiman, yang terutama adalah cinta. Keintiman tidak akan bertumbuh jika tidak ada cinta . Keintiman berarti proses menyatakan siapa kita sesungguhnya kepada orang lain. Keintiman adalah kebebasan menjadi diri sendiri. Keintiman berarti proses membuka topeng kita kepada pasangan kita. Bagaikan menguliti lapisan demi lapisan bawang, kita pun menunjukkan lapisan demi lapisan kehidupan kita secara utuh kepada pasangan kita.
Keinginan setiap pasangan adalah menjadi intim. Kita ingin diterima, dihargai, dihormati, dianggap berharga oleh pasangan kita. Kita menginginkan hubungan kita menjadi tempat ternyaman bagi kita ketika kita berbeban. Tempat dimana belas kasihan dan dukungan ada didalamnya. Namun, respon alami kita adalah penolakan untuk bisa terbuka terhadap pasangan kita. Hal ini dapat disebabkan karena :
a.    Kita tidak mengenal dan tidak menerima siapa diri kita secara utuh.
b.    Kita tidak menyadari bahwa hubungan pacaran adalah persiapan memasuki pernikahan.
c.    Kita tidak percaya pasangan kita sebagai orang yang dapat dipercaya untuk memegang rahasia.
d.   Kita dibentuk menjadi orang yang berkepribadian tertutup.
e.    Kita memulai pacaran bukan dengan cinta yang tulus .

Referensi:

Wirawan, sarlito s. 2002. Individu dan teori-teori psikologi social. Jakarta: balai pustaka

Dayakisni, Tri. 2006. Psikologi Social. Edisi Revisi. Malang : Universitas Muhamadiyah Malang

Aronson ,Elliot .(2005).Social Psychology .Upper Saddle River: Person Prentice Hall

Hall, S Calvin., Lindzey , Gardner., (2009). Teori - Teori Psikodinamika, Yogyakarta: Kanisius

Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT. Remaja Rosdakarya Offset: Bandung.