Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang
baik, kegagalan komunikasi sekunder terjadi bila isi pesan kita dipahami,
tetapi hubungan di antara komunikasi menjadi rusak. “ komunikasi interpersonal
yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali
yang paling penting,” tulis Anita Taylor et al.(1977:187). “Banyak penyebab
dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada hubungan baik di antara
komunikan. Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling tegas, paling cermat
tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan yang jelek.”Pandangan
bahwa komunikasi mendefinisikan hubungan interpersonal telah dikemukakan Ruesch
dan Bateson (1951) pada tahun 1950-an. Gagasan ini dipopulerkan di kalangan
komunikasi oleh Watzlawick, Beavin, dan Jackson(1967) dengan buku mereka
Pragmatics of Human Communication. psikolog pun mulai menaruh minat yang besar
pada hubungan interpersonal seperti tampak pada tulisan Fordon W.Allport
(1960), Erich Fromm (1962), Martin Buber (1957), Carl Rogers (1951). Semua
mewakili mazhab psikologi humanistic. Belakangan Arnold P.Goldstein (1975)
mengembangkan apa yang disebut sebagai “relationship-enchancement methods”
(metode peningkatan hubungan) dalam psikoterapi. Lame rumuskan metode ini tiga
prinsip : makin baik hubungan interpersonal, (1) makin terbuka pasien
mengungkapkan perasaannya, (2) makin cenderung ia meneliti perasaannya secara
mendalam beserta penolongnya (psikolog), dan (3) makin cenderung ia mendengar
dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan penolongnya.
A.
Model-Model Hubungan Interpersonal
Ada 4 model hubungan interpersonal yaitu meliputi :
1.
Model
pertukaran sosial (social exchange model)
Hubungan
interpersonal diidentikan dengan suatu transaksi dagang. Orang berinteraksi
karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Artinya dalam hubungan
tersebut akan menghasilkan ganjaran (akibat positif) atau biaya (akibat
negatif) serta hasil / laba (ganjaran dikurangi biaya).
2.
Model
peranan (role model)
Hubungan
interpersonal diartikan sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang
memainkan peranannya sesuai naskah yang dibuat masyarakat. Hubungan akan
dianggap baik bila individu bertindak sesuai ekspetasi peranan (role
expectation), tuntutan peranan (role demands), memiliki ketrampilan
(role skills) dan terhindar dari konflik peranan. Ekspetasi peranan
mengacu pada kewajiban, tugas dan yang berkaitan dengan posisi tertentu, sedang
tuntutan peranan adalah desakan sosial akan peran yang harus dijalankan.
Sementara itu ketrampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu.
3.
Model
permainan (games people play model)
Model
menggunakan pendekatan analisis transaksional. Model ini menerangkan bahwa
dalam berhubungan individu-individu terlibat dalam bermacam permaianan.
Kepribadian dasar dalam permainan ini dibagi dalam 3 bagian yaitu :
a.
Kepribadian
orang tua (aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang diterima
dari orang tua atau yang dianggap sebagi orang tua).
b.
Kepribadian
orang dewasa (bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional)
c.
Kepribadian
anak (kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak yang
mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas dan kesenangan). Pada
interaksi individu menggunakan salah satu kepribadian tersebut sedang yang lain
membalasnya dengan menampilkan salah satu dari kepribadian tersebut. Sebagai
contoh seorang suami yang sakit dan ingin minta perhatian pada istri
(kepribadian anak), kemudian istri menyadari rasa sakit suami dan merawatnya
(kepribadian orang tua).
4.
Model
Interaksional (interacsional model)
Model ini
memandang hubungann interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem memiliki
sifat struktural, integratif dan medan. Secara singkat model ini menggabungkan
model pertukaran, peranan dan permainan.
B.
Memulai Hubungan
Adapun tahap-tahap dalam hubungan interpersonal yakni
meliputi :
1. Pembentukan.
Tahap ini sering disebut juga dengan tahap
perkenalan. Beberapa peneliti telah menemukan hal-hal menarik dari proses
perkenalan. Fase pertama, “fase kontak yang permulaan”, ditandai oleh usaha
kedua belah pihak untuk menangkap informasi dari reaksi kawannya. Masing-masing
pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap dan nilai pihak yang lain.
Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri.
Pada tahap ini informasi yang dicari meliputi data demografis, usia, pekerjaan,
tempat tinggal, keadaan keluarga dan sebagainya.
Menurut Charles R. Berger informasi pada
tahap perkenalan dapat dikelompokkan pada tujuh kategori, yaitu:
a. Informasi demografis
b. Sikap dan pendapat (tentang orang atau objek).
c. Rencana yang akan datang.
d. Kepribadian.
e. Perilaku pada masa lalu.
f. Orang lain serta,
g. Hobi dan minat.
2. Peneguhan Hubungan.
Hubungan interpersonal tidaklah bersifat
statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan
interpersonal, diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan
keseimbangan. Ada empat faktor penting dalam memelihara keseimbangan ini, yaitu:
a. Keakraban (pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang antara komunikan dan
komunikator).
b. Kontrol (kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan komunikasi
dan menentukan siapakah yang lebih dominan didalam komunikasi tersebut).
c. Respon yang tepat (feedback atau umpan balik yang akan terima
jangan sampai komunikator salah memberikan informasi sehingga komunikan tidak
mampu memberikan feedback yang tepat).
d. Nada emosional yang tepat (keserasian suasana emosi saat komunikasi
sedang berlangsung).
C.
Hubungan Peran
1. Model Peran
Terdapat empat asumsi yang mendasari
pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social,
yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi
tersebut sebagai berikut:
Secara implicit bermain peran mendukung
sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi
pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa
sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai
situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran,
para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari
respons orang lain.
Kedua, bermain peran memungkinkan para
peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa
bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban
emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang
lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan
penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama.
Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah
pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari
pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional
pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot
emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain
peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
Model bermain peran berasumsi bahwa emosi
dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui
proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa
saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan.
Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain
tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat
belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada
gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh
sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu
mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran
mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil
menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang
sedang dihadapi.
2. Konflik
Konflik adalah adanya pertentangan yang
timbul di dalam seseorang (masalah intern) maupun dengan orang lain
(masalah ekstern) yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupad
perselisihan (disagreement), adanya keteganyan (the presence of
tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau
lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai
kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai
pengahalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Substantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan
dengan tujuan kelompok,pengalokasian sumber dalam suatu organisasi, distrubusi
kebijaksanaan serta prosedur serta pembagaian jabatan pekerjaan. Emotional
conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik,
takut dan penolakan, serta adanya pertantangan antar pribadi (personality
clashes).
Dalam sebuah organisasi, pekerjaan
individual maupun sekelompok pekerja saling berkait dengan pekerjaan
pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi,
penyebabnya selalu diidentifikasikan dengan komunikasi yang tidak efektif yang
menjadi kambing hitam.
3. Adequancy peran dan autentisitas dalam
hubungan peran
Kecukupan perilaku yang diharapkan pada
seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun
secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan harapan
peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu
situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau
harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.
D.
Intimasi dan Hubungan Pribadi
Pendapat beberapa ahli mengenai intimasi, di antara
lain yaitu :
a. Shadily dan Echols (1990) mengartikan intimasi sebagai kelekatan yang
kuat yang didasarkan oleh saling percaya dan kekeluargaan.
b. Sullivan (Prager, 1995) mendefinisikan intimasi sebagai bentuk tingkah
laku penyesuaian seseorang untuk mengekspresikan akan kebutuhannya terhadap
orang lain.
c. Steinberg (1993) berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah
ikatan emosional antara dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama
lain, keinginan untuk memperlihatkan pribadi masing-masing yang terkadang lebih
bersifat sensitif serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
d. Levinger & Snoek (Brernstein dkk, 1988) merupakan suatu bentuk
hubungan yang berkembang dari suatu hubungan yang bersifat timbal balik antara
dua individu. Keduanya saling berbagi pengalaman dan informasi, bukan saja pada
hal-hal yang berkaitan dengan fakta-fakta umum yang terjadi di sekeliling
mereka, tetapi lebih bersifat pribadi seperti berbagi pengalaman hidup,
keyakinan-keyakinan, pilihan-pilihan, tujuan dan filosofi dalam hidup. Pada
tahap ini akan terbentuk perasaan atau keinginan untuk menyayangi,
memperdulikan, dan merasa bertangung jawab terhadap hal-hal tertentu yang
terjadi pada orang yang dekat dengannya.
e. Atwater (1983) mengemukakan bahwa intimasi mengarah pada suatu hubungan
yang bersifat informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang diakibatkan
oleh persatuan yang lama. Intimasi mengarah pada keterbukaan pribadi dengan
orang lain, saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang terdalam. Intimasi
semacam ini membutuhkan komunikasi yang penuh makna untuk mengetahui dengan
pasti apa yang dibagi bersama dan memperkuat ikatan yang telah terjalin. Hal
tersebut dapat terwujud melalui saling berbagi dan membuka diri, saling
menerima dan menghormati, serta kemampuan untuk merespon kebutuhan orang lain
(Harvey dan Omarzu dalam Papalia dkk, 2001).
Dalam suatu hubungan juga perlu adanya companionate love, passionate
love dan intimacy love. Karena apabila kurang salah satu saja di dalam suatu
hubungan atau mungkin hanya salah satu di antara ketiganya itu di dalam suatu
hubungan maka yang akan terjadi adalah hubungan tersebut tidak akan berjalan
dengan langgeng atau awet, justru sebaliknya setiap pasangan tidak merasakan
kenyamanan dari pasangannya tersebut sehingga yang terjadi adalah hubungan
tersebut bubar dan tidak akan ada lagi harapan untuk membangun hubungan yang
harmonis dan langgeng.
Komunikasi yang selalu terjaga, kepercayaan, kejujuran dan saling
terbuka pun menjadi modal yang cukup untuk membina hubungan yang harmonis. Maka
jangan kaget apabila komunikasi kita dengan pasangan tidak berjalan dengan
mulus atau selalu terjaga bisa jadi hubungan kita akan terancam bubar atau
hancur. Tentu saja itu akan menyakitkan hati kita dan setiap pasangan di dunia
ini pun tidak pernah menginginkan hal berikut.
E.
Intimasi dan Pertumbuhan
Apapun alasan untuk berpacaran, untuk
bertumbuh dalam keintiman, yang terutama adalah cinta. Keintiman tidak akan
bertumbuh jika tidak ada cinta . Keintiman berarti proses menyatakan siapa kita
sesungguhnya kepada orang lain. Keintiman adalah kebebasan menjadi diri
sendiri. Keintiman berarti proses membuka topeng kita kepada pasangan kita.
Bagaikan menguliti lapisan demi lapisan bawang, kita pun menunjukkan lapisan
demi lapisan kehidupan kita secara utuh kepada pasangan kita.
Keinginan setiap pasangan adalah menjadi
intim. Kita ingin diterima, dihargai, dihormati, dianggap berharga oleh
pasangan kita. Kita menginginkan hubungan kita menjadi tempat ternyaman bagi
kita ketika kita berbeban. Tempat dimana belas kasihan dan dukungan ada
didalamnya. Namun, respon alami kita adalah penolakan untuk bisa terbuka
terhadap pasangan kita. Hal ini dapat disebabkan karena :
a. Kita tidak mengenal dan tidak menerima siapa diri kita secara utuh.
b. Kita tidak menyadari bahwa hubungan pacaran adalah persiapan memasuki
pernikahan.
c. Kita tidak percaya pasangan kita sebagai orang yang dapat dipercaya
untuk memegang rahasia.
d. Kita dibentuk menjadi orang yang berkepribadian tertutup.
e. Kita memulai pacaran bukan dengan cinta yang tulus .
Referensi:
Wirawan, sarlito s. 2002. Individu dan teori-teori
psikologi social. Jakarta: balai pustaka
Dayakisni, Tri. 2006. Psikologi Social. Edisi Revisi.
Malang : Universitas Muhamadiyah Malang
Aronson ,Elliot .(2005).Social Psychology
.Upper Saddle River: Person Prentice Hall
Hall, S Calvin., Lindzey , Gardner., (2009). Teori -
Teori Psikodinamika, Yogyakarta: Kanisius
Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi
Komunikasi, Edisi 12, PT. Remaja Rosdakarya Offset: Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar